Dari Kertas Sampai Perpustakaan: Sebuah Transformasi Layanan Umat

Dari Penemu Kertas ke Bait al-Hikmah

Tawassuth.com – Ts’ai Lun (57-121 M), orang Tiongkok dari Dinasti Han merupakan penemu kertas. Namanya kurang begitu popular di dunia. Namun, Micheal H. Hart dalam bukunya The 100: A Rangking of the Most Influential Persons in History, menempatkan Ts’ai Lun diurutan ke tujuh setelah para Rasul dan Nabi yang punya pengaruh besar dalam aspek agama. Dengan begitu, ini merupakan penghargaan yang luhur untuk Ts’ai Lun. Tentu, berkat dirinya dinasti China mengalami kemajuan begitu pesat dan tidak lagi menggunakan gulungan bambu, kulit domba dan papirus sebagai media tulis.

Setelah Ts’ai Lun, ada Johannes Gutenberg (1398-1468 M) asal Mainz, Jerman. Urutan ke delapan memang pantas didapatkan dirinya, karena sumbangsihnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan begitu besar. Gutenberg tiada lain merupakan penemu teknologi percetakan. Sejak penemuan inilah daratan Eropa disebut-sebut bangkit dari masa Dark Ages (Zaman Kegelapan) dan menuju Abad Pembaharuan atau orang-orang akademis menyebutnya Renaisans.

Pemakaian kertas dulu hanya dihegemoni oleh bangsa China selama berabad-abad, dan setelah abad kedua negeri Tirai Bambu mengekspor kertas ke wilayah Asia lainnya. Komposisi pembuatan kertas dirahasiakan hingga pada tahun 751 untuk pertama kalinya para pembuat kertas ditawan oleh orang-rang Arab. Dengan begitu, kertas bukan lagi diproduksi oleh China melainkan di Samarkand dan Baghdad kertas sudah menjadi komoditas yang mudah didapat. Seni pembuatan kertas perlahan menyebar di seluruh dunia dan pada abad ke-12, orang-orang Barat mempelajari seni pembuatan kertas juga dan tentu dari orang Arab.

Penulis ingin bertanya, apakah jadinya bila dua tokoh di atas tidak menemukan kertas dan mesin cetak? Mungkin dunia masih dalam masa kegelapan. Dengan hadirnya kertas dan mesin cetak penyebaran ilmu pengetahuan menjadi cepat dan memberikan perubahan terhadap dunia yang begitu besar. Buku-buku ditulis dan dicetak menjadi tak terhingga, dan semua bangsa yang ingin mempunyai peradaban besar maka harus punya kertas sebagai alat perekam dan mesin cetak untuk produksi buku secara masal. Dan tentu perpustakaan sebagai simbol peradaban.
 
Catatan sejarah mengungkapkan, seandainya orang Arab (Abbasiyah) tidak menawan perajin kertas dari China, maka mercusuar ilmu pengetahuan di Islam tidak akan bersinar seperti yang dikenal sekarang. Masa Abbasiyah tepatnya di masa Harun Ar-Rasyid dan al-Ma’mun, ilmu pengetahuan hidup. Naskah-naskah dari Yunani, Persia, India dan penjuru negeri lainnya didatangkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Produksi kertas tidak susah didapatkan karena resepnya sudah diketahui oleh orang-orang Arab sehingga Bait al-Hikmah yang dibangun oleh al-Ma’mun menjadi pusat penerjemahaan dan menjadi perguruan tinggi yang melahirkan para sarjana muslim dan didukung dengan perpustakaan besar. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan yang pertama kali didirikan di dunia Islam. Namun demikian, menurut Salahuddin (2011) perpustakaan ini adalah sebuah kelanjutan dari Khizanah Hikmah yang didirikan oleh ar-Rasyid. Akan tetapi sebagai perpustakaan yang profesional dan dibuka untuk umum, para penulis sejarah sepakat itu dimulai pada masa al-Ma’mun. Akan tetapi, kemegahan dan keagungan perpustakaan Bait al-Hikmah tidak bisa disaksikan sekarang karena runtuh dan dibumihanguskan oleh bangsa Mongol pada tahun 1258. Buku-buku dibakar yang menyebabkan sungai Tigris menghitam.

Belum selesai sampai di situ, bangsa Mongol menceburkan semua buku-buku itu ke sungai hanya untuk jalan kuda. Maka tepat apa yang dikatakan Milan Kundera “jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya: Maka pastilah bangsa itu akan musnah” Dengan demikian, kertas, mesin cetak, dan perpustakaan adalah sebuah simbol hidupnya peradaban. Bangsa China yang menghemoni kertas maju begitu pesat dan disusul oleh bangsa Arab (Abbasiyah) dengan menawan perajin kertas sehingga menghidupkan ilmu pengetahuan di Arab. Di Eropa resep pembuatan kertas dipelajari dari orang Arab dan abad kebangkitan Barat dipercepat oleh penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.

Perpustakaan Digital dan Masalah Pelayanan Umat

Sekarang, informasi sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Dengan dukungan teknologi yang cepat, tepat dan akurat membuat masyarakat mudah mendapatkan apa saja yang ingin diketahui. Hadirnya perpustakaan digital adalah sebuah tranformasi layanan umat secara maksimal. Sebelum era teknologi secanggih sekarang, umat manusia yang ingin mengetahui dan mendalami ilmu harus menempuh pusat kota untuk berkunjung ke perpustakaan (tradisional). sekarang itu tidak berlaku lagi.

Perkembangan perpustakaan digital di Indonesia bisa dikatakan masih berjalan lamban. Perpustakaan yang ditemui kebanyakan masih mempertahankan koleksi cetak, walaupun sebagian kecil sudah ada yang berbentuk digital dan dalam lingkup yang terbatas. Jenis perpustakaan yang seperti ini dikenal sebagai perpustakaan hibrida (dapat diakses jarak jauh maupun dekat), yaitu yang telah memiliki koleksi digital, tetapi koleksi dalam bentuk fisik masih dipertahankan untuk kebutuhan masyarakat.

Keberadaan media sosial yang beragam merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi perpustakaan digital. Isu hoax banyak bertebaran di media sosial dan disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, salah satunya ialah tempat menyebarkan berita yang kebenaranya perlu dipertanyakan (tabayyun), karena hoax dampaknya sangat merugikan kepada sebagian kelompok. Hematnya, perpustakaan digital dibangun, untuk memberikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya kepada masyarakat secara instani. Bisa dikatakan sebagai penyeimbang arus informasi yang selalu disalah gunakan.

Di masa Covid-19 kaum pelajar tentu sangat membutuhkan bacaan yang tidak perlu repot untuk berpergitan dan penulis punya pengalaman khusus untuk mengakses perpustakaan digital, yaitu Z-Library. Perpustakaan online ini memiliki jumlah koleksi yang begitu banyak dengan jumlah buku hampir sepuluh
 juta dan delapan puluh empat juta artikel. Akan tetapi, perpustakaan ini bisa dikatakan ilegal dan merugikan para penulis buku karena website ini tidak memberikan uang royalti kepada penulis buku. Bisa dikatakan (pencurian kekayaan intekeltual). Di Indoensia sendiri, baik pemerintah pusat, daerah sudah memiliki perpustakaan digital masing-masing yang mudah ditemukan di Play Store, seperti: Ipusnas, I-Jateng, dan I-Jakarta. Walapun koleksinya belum lengkap tetapi ini adalah ikhtiar mengimbangi perkembangan zaman.
 
Di balik majunya teknologi informasi sekarang ini. Ilmu pengetahuan tidak banyak dilirik oleh masyarakat, bahkan kaum terpelajar sekali pun lebih memilih menyantap berita dari media sosial dan bermain games. Seharunya, majunya teknologi juga harus dibarengi dengan ilmu pengetahuan secara mumpuni sehingga majunya teknologi membawa keberkahan untuk membangun peradaban bukan mebawa malapetaka.

Penulis telah mengulas tentang kebangkitan Islam masa Abbasiyah yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Umat Islam memiliki dorongan yang kuat terhadap keilmuan karena dipengaruhi oleh dinamika internal yang muncul dari nilai religius yang diimaninya, kewajiban menuntut ilmu itu merupakan perintah dalam Islam. Akan tetapi sekarang ini dengan pelayanan umat yang lebih mumpuni, tetapi kegunaanya tidak dimaksimalkan? Kalau dulu Abbasiyah hancur dan perpustakaanya dibumihanguskan oleh bangsa Mongol, maka sekarang umat ini dirusak oleh dirinya sendiri melalui teknologi.

Wallahualam Bissawab

Serang, 7 Januari 2022

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak