Potret Kemiskinan dalam Bingkai Jendela Bus dan Kereta

12-16 Mei 2024 saya menjadi bagian dari rangkaian acara Persiapan Keberangkatan (PK) angkatan 230 di Hotel Mercure Ancol Jakarta. Saya berangkat pada 11 Mei dari Pandeglang ke Serang—tentu menggunakan mobil bus, sebab Pandeglang tidak punya kereta.

Sengaja saya berangkat ke Serang terlebih dahulu, mengingat beberapa paket belanja saya dikirim ke alamat pesantren. Kalau dikirim ke alamat di rumah kemungkinan sampai pada 12-13 Mei. Tukang paket kadang malas menyusuri kampung-kampung yang pelosok.

Saya menginap di pesantren satu hari. Saya sudah berencana akan berangkat dengan kereta karena sangat murah—menurut teman saya. Tapi saya belum punya pengalaman naik kereta sama sekali, jadi kebingungan cara pesannya.

Karena keawaman itulah saya kehabisan tiket kereta lokal. Seharusnya saya memesan jauh-jauh hari—mengingat hari weekend selalu full dan berebut tiket. Saya juga kebingungan cara memesannya di online karena tadi itu, belum punya pengalaman naik kereta.

Untungnya, ada teman saya (Alfat) di pesantren yang mau mengantarkan saya bulak balik dari Stasiun Serang ke Terminal Pakupatan. Saya juga belum pernah baik bus ke Kalideres. Cari-cari info harga di snap WhatsApp dan teman saya kompak menjawab bahwa harganya 20-30 ribu.

Saya hubungi teman yang di Jakarta bahwa saya ada acara ke Hotel Mercure Ancol. Apalagi tujuannya kalau bukan minta bantuan disusul di Terminal Kalideres. Menunggu bus di halte Untirta. Lumayan lama sekali. Waktu tunggu sekitar 40 menit. Saya berangkat dengan sangat mantap menggunakan bus Murni.

Bus Murni ini jelek sekali. Tidak terlalu penuh tapi sangat ribut di dalamnya. Suaranya bising dan bergetar. Saya muntah sedikit karena tidak kuat mencium asap rokok. Benar-benar siksaan yang maha dahsyat di dalam mobil bus tetapi ada yang merokok. Saya ingin menegurnya, tetapi ini bakalan menghambat saya berangkat nantinya.

Dalam perjalanan ada tukang air minum masuk menawarkan dagangannya. "Yang aus, yang aus. Aqua, teh pucuk. Yang aus yang aus." Begitulah bapak paruh baya melafalkan mantra-mantra dagangannya. Tidak lama ada tukang kacang dan permen jahe.

Bapak ini punya metode penjualan yang nggak banyak omong. Dia hanya menyimpan barangnya di setiap bangku penumpang: kacang telur, jagung goreng, dan permen jahe 5 ribu. Jika penumpang membeli satu barang saja, maka membayar 2 ribu. Tidak banyak yang beli, tetapi pancaran wajahnya menyisakan senyuman tang optimis.

Jreng! Jreng! Suara gitar menyambar telinga. Pengamen bernyanyi satu lagu yang saya tidak tahu apa judulnya. Bus Murni melaju lebih kencang lagi. Suara pengamen dan bisingnya knalpot beradu—dan pengamen ini bernyanyi tidak maksimal. Entah suaranya bagus atau buruk, saya tidak bisa mendengarnya dengan baik. Gemuruh knalpot lebih mendominasi.

Turun musisi jalanan. Masuklah seorang anak kecil berumur 7 tahun yang digandeng oleh ibunya. Anak ini menggunakan pakaian muslim. Peci dan baju koko warna telur asin. Ibu dan anak ini tidak ngomong sedikitpun. Ibunya menyerahkan puluhan amplop ke anaknya—memandang anaknya beberapa saat. Barangkali meyakinkan sang anak agar tidak malu.

Anak ini maju ke depan pas di belakang bangku sang supir. Raut wajahnya sedikit ragu untuk membagikan amplopnya. Dia memandang ibunya kemudian sang Ibu menganggukkan kepala. Sang anak akhirnya menebar amplop dan sang ibu duduk kemudian mengeluarkan satu botol air. Dia menegaknya.

Amplop sampai di pangkuan saya. Saya mencermati amplop kecil ini dan di belakangnya ada sebuah tulisan yang cukup rapi. "Assalamualaikum Wr Wb. Bapak ibu kakak. Sebelumnya saya bantuan seikhlasnya untuk membeli sebungkus nasi." Pengemis ini jujur sekali saya kira.

Berbeda dengan pengemis yang menjual nama anak yatim atau yayasan padahal untuk diri sendiri. Tapi saya juga tidak simpatik dengan pengemis yang membawa anak kecil, mereka pasti ada yang mengontrol secara sistematis. Ini sering saya temui. Saya ambil foto amplopnya—anak kecil ini lewat dan meminta amplopnya kembali.

Dia sudah mengumpulkan amplopnya kemudian membukanya satu persatu. Ada uang dua ribuan yang terselip di amplopnya. Dia kemudian tersenyum seperti mendapatkan keberhasilan. Menghadap ibunya dan menyerahkan semuanya. Ibunya mungkin bertanya dapat berapa? Sang anak senyum saja kemudian minta minum dari ibunya.

Tidak berapa lama mereka turun. Mata saya mengamati jalan tol. Sawah-sawah masih menghiasi pemandangan dalam perjalanan. Dalam mobil bus, saya tidak begitu banyak melihat kemiskinan di bingkai jendelanya, tetapi lain cerita ketika saya naik kereta arah pulang dari Kampung Bandan ke Rangkasbitung.

Di Jendela Kereta

Saya naik kereta bersama teman. Namanya Mega—yang juga peserta PK-230 Tandara Agni. Kami asli Banten namun beda kabupaten saja. Mega dari Lebak, saya dari Pandeglang. Tentu, pengalamannya naik kereta sangat mumpuni sehingga saya meminta pulang bareng.

Dari Hotel Mercure Ancol kami naik Go Car dengan harga 25 ribu. Saya hanya ingin membayar penuh ongkos Go Car, tapi Mega menolak. Dia yang membayar 20 ribu saya cuma 5 ribu—karena kebetulan driver tidak punya uang kembalian, maka saya cuma membayar iuran 5 ribu.

Kami berjalan ke jembatan arah stasiun Kampung Bandan. Entah sungai apa namanya, yang jelas warnanya bukan lagi bening atau keruh melainkan hitam. Berbau parah. Di atas jembatan itu pula ada seorang kakek yang kurung kering. Menyimpan gayung yang di dalamnya ada yang pecahan lima sampai dua ribu.

Panas menusuk-nusuk kulit saya. Keringat bercucuran karena harus berjalan lumayan jauh untuk ke stasiun. Sampailah di stasiun, saya dan Mega menunggu kereta arah Tanah Abang. 15 menit kemudian kereta yang akan saya tumpangi datang. Belum banyak orang—seperti yang saya saksikan di televisi.

Ada rasa haru karena ini adalah pengalaman naik kereta yang kedua kali. "Kenapa belum banyak orang, Meg?" Tanya saya kepada Mega memecah keheningan. "Nanti banyak di stasiun Tanah Abang," katanya dengan singkat. Nampaknya Mega lebih suka menatap handphone ketimbang mengobrol dengan saya.

Akhirnya, saya banyak melihat ke jendela. Saya tidak banyak menggunakan handphone mengingat baterai sudah menunjukkan angka 21%. Saya khawatir nanti di Rangkasbitung ke Serang handphone mati dan tidak bisa menunjukkan tiket online yang sudah dipesan oleh kekasih saya.

Tidak ada pengamen dan pengemis di dalam kereta. Hanya ada satpam dan office boy yang berlalu lalang mengepel lantai seraya memasang muka cemberut. "Keren, ya, kereta nggak ada pengemis dan nyaman," kata saya dengan harapan ada balasan dari Mega. "Iya nyaman. Saya dulu sering menggunakan ini untuk kerja," tandasnya dengan singkat.

Mata saya tertuju kepada bangunan gubuk-gubuk reyot di sepanjang jalan. Saya berpikir bahwa kemiskinan di Ibu Kota memang masih banyak. Ini akibat tidak meratanya pembangunan sehingga orang merantau ke Jakarta dengan harapan merubah nasib, tapi justru mereka bekerja seadanya dan menetap di pinggiran kota dengan kondisi yang tidak layak.

"Lihat, Meg. Kemiskinan di Ibu Kota banyak juga, ya. Kalau ingin lihat kemiskinan tinggal naik kereta saja," basa basi saya kambuh lagi. Akhirnya Mega membuka suara. "Iya ketimpangan sosial cukup kuat di Ibu Kota, tetapi orang-orang miskin masih sangat dibutuhkan di Jakarta karena tidak semuanya harus kaya. Misalnya jadi pembantu rumah tangga, dll."

"Tapi Meg. Mereka digaji dengan tidak layak kan. Berbeda dengan di negara maju yang dibayar perjam," kata saya menimpali. "Semuanya ada plus minusnya sih, kalau kata aku mah." Kemudian Mega menundukkan kepalanya kembali kepada handphone. Entah apa yang dia perhatikan nampaknya sangat seru sekali.

Saya masih tetap mengamati jendela kereta walaupun kereta sudah mulai penuh oleh orang-orang yang siap bekerja. Mereka sama seperti Mega menundukkan kepalanya ke handphone dengan muka yang penuh tekanan. Ada yang tidur juga di kereta sembari mendengkur.

"Nanti kamu turun di Rangkasbitung pakai pintu arah kanan, ya, karena di situ bisa langsung turun dan tidak jauh," kata Mega. Saya mengangguk-anggukkan kepala. Akhirnya saya tertidur beberapa menit. Tidak berapa lama Mega turun di stasiun Maja. "Aku duluan, ya," katanya sambil menarik koper. Aku kembali menganggukkan kepala.

Masih dalam lamunan yang sama tentang kemiskinan di Indonesia. Sampai tiba di Stasiun Serang saya langsung berharap bahwa teman-teman yang menerima LPDP khususnya angkatan PK-230 Tandara Agni—bisa membangun Indonesia yang jauh lebih sejahtera. Aamiin!*

*Ditulis sambil merebus Indomie rasa soto.
Serang, 17 Mei 2024

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak