Tawassuth.com – Harun Nasution pernah menulis sebuah buku yang masyhur, Falsafah Agama dan Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Dua buku ini memberikan sumbangsih besar dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama besar manusia.
Ada kesamaan antara pembahasan dalam buku Falsafah Agama dengan Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid satu, yaitu sama-sama membicarakan tentang evolusi agama atau kepercayaan terhadap Tuhan.
Secara singkat Harun Nasution memberikan gambaran tentang munculnya dinamisme yang mempercayai adanya kekuatan gaib pada sebuah benda-benda di sekitar kehidupan mereka. Dan barang siapa yang memakai benda tersebut akan terbebas dari marabahaya karena merasa terlindungi.
Setelah dinamisme, manusia memiliki rasa takut yang lebih besar lagi yang lingkupnya bukan sekedar pada benda-benda kecil—misalnya mempercayai bahwa dalam sebuah sungai, gunung, pohon besar terdapat kekuatan gaib yang dihinggapi oleh roh nenek moyang. Dan ini dinamakan dengan animisme.
Sedikit peradaban manusia maju muncul lagi yang lingkupnya lebih besar, mempercayai dewa-dewa—yang memainkan peran dalam mengontrol kehidupan manusia—misalnya saja ada dewa hujan, matahari, sungai, dan lain-lain. Inilah yang dinamakan dengan politheisme.
Semua kepercayaan di atas lebih populer disebut sebagai agama bumi. Lalu adakah agama langit? Tentu ada, yang wujudnya lebih simpel daripada sebelumnya karena konsep ketuhanannya adalah Esa. Para ulama maupun orientalis sepakat bahwa agama langit hanya ada tiga, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam.
Sebetulnya, dalam buku Harun Nasution baik itu Falsafah Agama maupun Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya menyebutkan evolusi dari agama Yahudi yang monotheisme menjadi henotheisme (agama nasional yang dipercayai oleh Bani Israil).
Begitulah evolusi agama terjadi dari yang abstrak menjadi wujud yang lebih sempurna. Akankah agama berevolusi kembali?
Sekarang, arus modernisasi maju mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga agama banyak ditinggalkan sebab tidak bisa menjawab fenomena dengan logis dan berbeda dengan yang mudah memberikan jawaban dengan rasional dan bukti-bukti yang kongkrit.
Ternyata, dengan kemajuan yang begitu signifikan baik ilmu pengetahuan maupun teknologi dapat menciptakan manusia yang menolak agama dan konsep ketuhanan yang menurutnya tidak logis. Sebut saja ateisme.
Ateisme berkembang pesat. Dakwah rasionalisme sains daripada agama digemborkan oleh para ilmuwan sehingga, sekarang ini, banyak manusia yang mula-mula mengaku agnostik sampai pada akhirnya ia mengaku tidak percaya Tuhan sama sekali.
Agama disembelih di altar objektivitas sains. Buku-buku yang menjawab persoalan dengan ilmu pengetahuan dan menertawakan agama sudah banyak kita temukan di mana-mana—seperti bukunya Richard Dawkins dengan judul Delusius God dan Outgrowing God.
Sejauh ini, orang yang menanggalkan agama punya dua alasan: karena agama tidak logis, dan produk kebodohan. Seperti yang dikemukakan oleh Abidd Nata dalam bukunya Metodologi Studi Islam bahwa banyak hipotesis tentang hubungan manusia dengan agama (petunjuk untuk mengenal Tuhan), yaitu: produk rasa takut, seperti fenomena alam gerhana matahari, gunung meletus, atau guntur.
Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah produk kebodohan manusia, sebab manusia, memiliki watak ingin tahu dengan sebab-sebab atau hukum-hukum yang terjadi di kehidupan sekitarnya. Tapi mereka gagal dalam mendapatkan jawaban itu.
Hipotesis penulis jabarkan dengan sederhana terasa pragmatis. Tapi dua hipotesis di atas bisa dikomparasikan dengan menarik benang merahnya—bahwa manusia dalam menjawab ketakutan selalu berujung pada kegagalan berpikir sehingga menciptakan mitos-mitos yang tidak ilmiah, dan inilah yang selalu kita dapat dalam doktrin agama.
-00-
Semarak ateisme semakin menjadi-jadi. Lalu adakah komunitas atau masyarakat yang sepenuhnya tidak percaya kepada Tuhan? Tentu ada, dan itu yang akan penulis bahas dengan seksama.
Penulis punya seorang guru yang baru saja menuntaskan studinya di Belanda selama 6-7 tahunan. Ia sekarang doktor, dan mengetahui betul masyarakat Belanda tersebut, baik itu hal yang berkaitan dengan sosial ataupun agama.
Dia menceritakan kehidupan masyarakat Belanda yang jauh dari agama. Kehidupan di sana sangat sekular—tapi kebebasan beragama hidup di sana. Hampir sebagian besar masyarakat (Eropa Barat) lebih khususnya Belanda tidak percaya Tuhan.
Bahkan Ayaan Hisri Ali seorang murtadin Somalia yang pindah ke Belanda mengatakan bahwa di negeri Kincir Angin hampir kebanyakan orang tidak mempercayai agama, dan Tuhan lebih sering diolok-olok. Dengan gegabahnya ia mengatakan tidak ada yang tersambar petir karena mengolok-olok Tuhan.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa di Belanda semuanya berjalan dengan baik, damai, sejahtera, dan menyenangkan dan ini adalah sebuah sistem yang dicipta oleh manusia. Sebaliknya, negara yang berpegang pada konsep ketuhanan dan negaranya sesuai syariat tapi selalu perang, miskin, dan tidak menyenangkan.
Begitulah adanya. Masyarakat yang anti-tuhan bukan cuma ada di Belanda, tapi ada di belahan dunia lainnya seperti Denmark dan Swedia. Ini bisa kita telusuri lebih dalam dari buku Phil Zuckerman yang berjudul Masyarakat Tanpa Tuhan.
Penulis akan berbicara buku Phil Zuckerman sedikit saja. Penelitiannya tentang agama sangat mengagumkan. Dia menceritakan sejak awal datang ke Skandinavia atau lebih khusus di Denmark dan Swedia—disambut dengan kebaikan yang cukup mengherankan.
Negara ini sulit ditemukan polisi yang berpatroli bukan berarti tidak ada polisi, tapi ini menggambarkan bahwa negara yang ateis ini begitu aman, damai, dan kasus kriminal yang sedikit sekali.
Kalau guru penulis mengatakan bahwa penjara di Belanda sering disewakan karena tidak ada penjahat, maka di negara Denmark dan Swedia hanya ada kasus pembunuhan satu kali setahun saja. Ini sangat mengagumkan. Coba bandingkan dengan negara religius. Jauh.
Kemudian, negara-negara ini digambarkan sangat maju dan kemiskinannya sama sekali tidak terlihat. Ini karena pemerintah hadir betul di tengah masyarakat dan ikut membantu mensejahterakan rakyat. Coba bandingkan dengan negara religius. Jauh.
Phil Zuckerman sangat disayangkan tidak menjawab secara baik mengapa Denmark dan Swedia yang ateis itu bisa maju?
Dan mengapa negara religius begitu miskin, tidak damai, selalu perang? Sebetulnya salah sistem atau manusianya?
Hemat penulis, Denmark dan Swedia bisa maju karena masyarakatnya terbuka dengan hal-hal baru tanpa antipati sama sekali terhadap apapun sehingga ketika sains masuk sudah bisa menerimanya dengan baik.
Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah negara ini begitu kecil. Dengam begitu pemerintah mudah sekali untuk mengatur. Negara yang religius biasanya punya luas geografis yang besar dan penduduknya begitu banyak. Susah sekali mengaturnya.
Yang lebih penting adalah faktor ekonomi. Ekonomi yang didukung dengan keterbukaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan akan membuat hidup lebih damai dan segala sesuatunya bisa menjawab persoalan dengan sempurna. Negara yang miskin susah untuk menerima ilmu pengetahuan sebab lebih berpikir soal hidup untuk bertahan hidup. Jika kebutuhan tidak tercukupi maka solusinya adalah hiburan dengan agama yang menjanjikan keabadian.
Rasanya penulis sudah malas melanjutkan tulisan ini lebih panjang lagi. Sekarang harus disudahi. Umat beragama sedang dilanda ateisme melalui arus modernisasi yang serba memadai. PR besar yang harus dilakukan oleh umat beragama adalah mewujudkan sebuah peradaban modern yang tidak meninggalkan aspek-aspek agama atau ketuhanan. Bisakah?
Serang, 23 November 2021