Tawassuth.com – 22 Oktober 2016, SMA Mathla'ul Anwar Menes ikut serta dalam perayaan Hari Santri Nasional yang bertempatan di Monas, Jakarta. Dan acara itu nampaknya sangat meriah lagi besar, sebab dipenuhi oleh umat Islam dari seluruh Indonesia.
Tidak seberuntung institusi pendidikan yang lain, kami terlambat datang dalam meriahnya acara Hari Santri Nasional tersebut. Pada akhirnya, hanya bisa menyaksikan pasca selesainya acara. Tidak ada pilihan lain, rombongan istirahat di kawasan Masjid Istiqlal.
Kami menyusuri Masjid Istiqlal yang besar lagi indah itu—melihat pemandangan hiruk pikuk kota Jakarta dari atas masjid, dan mata kami tertuju pada sebuah bangunan besar bersebrangan yaitu Gereja Katedral.
Tidak puas sampai di situ, kami menyaksikan pemancing di pinggiran kali yang airnya kotor bukan main—kemudian mata kami tertuju pada seorang suster Kristen yang sedang berbicara dengan anak kecil. Nampaknya ramah sekali suster itu.
Tidak bisa dipungkiri, kami memiliki kecenderungan prasangka dogmatis yang masih kuat, yaitu soal misionaris Kristen. Itu berkat pendidikan konservatif di sekolah. Dan di daerah kami sendiri mayoritas beragama Islam. Artinya, kami tidak biasa berdampingan dengan orang beragama lain.
Seiring waktu, kami bisa menerima perbedaan antar umat beragama, dan itu terasa setelah banyaknya menyelam dalam literatur yang berbau toleransi agama serta pemikiran Islam yang meninjau moderat dan pluralisme.
Kami bisa membayangkan bahwa bangunan Masjid Istiqlal saja bisa berdampingan dengan Geraja Katedral dan seharusnya manusia yang memiliki akal pikiran harus pula bisa duduk bersama tanpa adanya perselisihan antara agama, sebab persaudaraan itu lebih penting daripada permusuhan.
Mengapa demikian? Setelah acara besar Hari Santri Nasional yang kami singgung di atas yang penuh dengan nilai harmonis. Akhirnya, beberapa waktu kemudian ada lagi acara besar di Monas, Jakarta— dalam rangka pemakzulan pemimpin karena tuduhan penistaan agama.
Berjuta-juta umat Islam memenuhi Monas dengan kumandang takbir amarah, tetapi ini hanya politisasi agama demi kepentingan kekuasaan. Dari sinilah menurut kami munculnya keracunan agama yang berlebihan.
Merasa sebagai penduduk mayoritas dan memiliki kuantitas yang lebih tinggi, tampaknya selalu memasang taring ke saudara sendiri—tidak menjunjung toleransi, dan setelahnya selalu bermunculan konflik agama, dan ini bisa ditemukan di media sosial percikannya.
Kami memandang, seharusnya malu kepada bangunan simbol persaudaraan antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Di Jawa memang mayoritas beragama Islam, tapi mari kami tunjukkan ke bagian Indonesia Timur, di sana terdapat bangunan masjid tertua tepatnya di Papua.
Masjid Patimburak namanya, dibangun tahun 1870 dengan ukuran yang sangat minimalis. Akan tetapi, masih tetap berdiri tegak dirawat oleh umat Islam maupun yang beragama Kristen. Kami tidak akan membahas sejarahnya, tetapi esensi dari bangunan tersebut.
Masjid ini berarsitektur yang sangat unik, berbeda dengan masjid di Pulau Jawa yang mayoritas berbentuk persegi dengan atap bersusun. Perbedaannya yaitu, masjid ini seperti gereja—dan tentu dibangun gotong royong oleh orang yang berbeda-beda kepercayaan.
Tidak seperti gereja yang direnovasi menjadi masjid, tetapi ini mutlak masjid mirip dengan gereja. Hal ini tidak menjadikan masalah sedikit pun soal beribadah di tengah penduduk mayoritas beragama Kristen dan bentuk yang dipermasalahkan, seperti masjid iluminati misalnya—ada yang mengatakan mengganggu keimanan.
Kehebatan lainnya umat Islam di Papua memiliki argumentasi yang unik. Jika ada yang menyoal bentuk bangunan masjid tersebut, simpelnya mereka akan mengatakan "dari dulu juga sudah begini, tidak usah diubah."
Apakah kita tidak malu? Sebagai penduduk mayoritas beragama Islam di Pulau Jawa selalu mengganggu peribadatan agama lain. Seharusnya belajarlah kepada dua bangunan simbol yang berbeda itu. Masjid Istiqlal bertempat di Jakarta yang mayoritas Islam, dan Masjid Patimburak bertempat di Indonesia Timur yang mayoritas Kristen.
Inilah esensi perbedaan yang sesungguhnya—berbeda-beda tetapi saling berdampingan dan menjaga satu sama lain. Sungguh nikmat dan damai jika saling menghargai dan melindungi.*
Referensi lanjutan untuk mengetahui Masjid Patimburak.
Bimasislam. Dari Masjid kita Belajar: Memetik Hikmah dari Perjalanan Menyinggahi Masjid-masjid Inspiratif di Tanah Air. Kemenag RI: Jakarta, 2019.
Setyorakhmadi, Kardono. Melawat ke Timur Menyusuri Semenanjung Raja-raja. Buku Mojok: Yogyakarta, 2015.
Wallahu alam
Menes, 20 Juli 2020
Tags
Esai